Di tengah maraknya pemikiran dan
pemahaman dalam agama Islam, klaim kebenaran begitu larisnya bak kacang
goreng. Setiap kelompok dan jama’ah tentunya menyatakan diri sebagai
yang lebih benar pemahamannya terhadap Islam, menurut keyakinannya.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Kebenaran hanya milik Allah. Namun kebenaran bukanlah suatu hal yang semu dan relatif. Karena Allah Ta’ala telah menjelaskan kebenaran kepada manusia melalui Al Qur’an dan bimbingan Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam. Tentu kita wajib menyakini bahwa kalam ilahi yang termaktub dalam Al Qur’an adalah memiliki nilai kebenaran mutlak. Lalu siapakah orang yang paling memahami Al Qur’an? Tanpa ragu, jawabnya adalah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dengan kata lain, Al Qur’an sesuai pemahaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan sabda-sabda Shallallahu’alaihi Wasallam itu sendiri keduanya adalah sumber kebenaran.
Yang menjadi masalah sekarang, mengapa
ketika semua kelompok dan jama’ah mengaku telah berpedoman pada Al
Qur’an dan Hadits, mereka masih berbeda keyakinan, berpecah-belah dan
masing-masing mengklaim kebenaran pada dirinya? Setidaknya ini
menunjukkan Al Qur’an dan sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam
ternyata dapat ditafsirkan secara beragam, dipahami berbeda-beda oleh
masing-masing individu. Jika demikian maka pertanyaannya adalah,
siapakah sebetulnya di dunia ini yang paling memahami Al Qur’an serta
sabda-sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam? Jawabnya, merekalah
para sahabat Nabi radhi’allahu ‘anhum ajma’in.
Pengertian Sahabat Nabi
Yang dimaksud dengan istilah ’sahabat Nabi’ adalah:
Yang dimaksud dengan istilah ’sahabat Nabi’ adalah:
من رأى رسول الله صلى الله عليه وسلم في حال إسلام الراوي، وإن لم تطل صحبته له، وإن لم يرو عنه شيئاً
“Orang yang melihat Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dalam keadaan Islam, yang meriwayatkan sabda
Nabi. Meskipun ia bertemu Rasulullah tidak dalam tempo yang lama, atau
Rasulullah belum pernah melihat ia sama sekali” [1]
Empat sahabat Nabi yang paling utama
adalah Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan dan
‘Ali bin Abi Thalib radhiallahu’ahum ajma’in. Tentang jumlah orang yang
tergolong sahabat Nabi, Abu Zur’ah Ar Razi menjelaskan:
شهد معه حجة الوداع أربعون ألفاً، وكان معه بتبوك سبعون ألفاً، وقبض عليه الصلاة والسلام عن مائة ألف وأربعة عشر ألفاً من الصحابة
“Empat puluh ribu orang sahabat Nabi ikut
berhaji wada bersama Rasulullah. Pada masa sebelumnya 70.000 orang
sahabat Nabi ikut bersama Nabi dalam perang Tabuk. Dan ketika Rasulullah
wafat, ada sejumlah 114.000 orang sahabat Nabi”[2]
Keutamaan Sahabat
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi:
Para sahabat Nabi adalah manusia-manusia mulia. Imam Ibnu Katsir menjelaskan keutamaan sahabat Nabi:
والصحابة كلهم عدول عند أهل السنة
والجماعة، لما أثنى الله عليهم في كتابه العزيز، وبما نطقت به السنة
النبوية في المدح لهم في جميع أخلاقهم وأفعالهم، وما بذلوه من الأموال
والأرواح بين يدي رسول الله صلى الله عليه وسلم
“Menurut keyakinan Ahlussunnah Wal
Jama’ah, seluruh para sahabat itu orang yang adil. Karena Allah Ta’ala
telah memuji mereka dalam Al Qur’an. Juga dikarenakan banyaknya pujian
yang diucapkan dalam hadits-hadits Nabi terhadap seluruh akhlak dan amal
perbuatan mereka. Juga dikarenakan apa yang telah mereka korbankan,
baik berupa harta maupun nyawa, untuk membela Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam”[3]
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
Pujian Allah terhadap para sahabat dalam Al Qur’an diantaranya:
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ
الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ
الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang
pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka
surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar” (QS. At Taubah:
100)
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda:
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam pun memuji dan memuliakan para sahabatnya. Beliau bersabda:
لا تزالون بخير ما دام فيكم من رآني وصاحبني ومن رأى من رآني ومن رأى من رأى من رآني
“Kebaikan akan tetap ada selama diantara
kalian ada orang yang pernah melihatku dan para sahabatku, dan orang
yang pernah melihat para sahabatku (tabi’in) dan orang yang pernah
melihat orang yang melihat sahabatku (tabi’ut tabi’in)”[4]
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam juga bersabda:
خير الناس قرني ، ثم الذين يلونهم ، ثم الذين يلونه
“Sebaik-baik manusia adalah yang ada pada zamanku, kemudian setelah mereka, kemudian setelah mereka”[5]
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
Dan masih banyak lagi pujian dan pemuliaan dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terhadap para sahabatnya yang membuat kita tidak mungkin ragu lagi bahwa merekalah umat terbaik, masyarakat terbaik, dan generasi terbaik umat Islam. Berbeda dengan kita yang belum tentu mendapat ridha Allah dan baru kita ketahui kelak di hari kiamat, para sahabat telah dinyatakan dengan tegas bahwa Allah pasti ridha terhadap mereka. Maka yang layak bagi kita adalah memuliakan mereka, meneladani mereka, dan tidak mencela mereka. Imam Abu Hanifah berkata:
أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله
عليه وسلم : أبوبكر وعمر وعثمان وعلي , ثم نكف عن جميع أصحاب رسول الله صلى
الله عليه وسلم إلا بذكر جميل
“Manusia yang terbaik setelah Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam adalah Abu Bakar, lalu Umar, lalu Utsman
lalu Ali. Kemudian, kita wajib menahan lisan kita dari celaan terhadap
seluruh sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, kita tidak boleh
menyebut mereka kecuali dengan sebutan-sebutan yang indah”[6]
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Lebih lagi Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لا تسبوا أصحابي ، فلو أن أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ، ما بلغ مد أحدهم ولا نصيف
“Jangan engkau cela sahabatku, andai ada
diantara kalian yang berinfaq emas sebesar gunung Uhud, tetap tidak akan
bisa menyamai pahala infaq sahabatku yang hanya satu mud (satu
genggam), bahkan tidak menyamai setengahnya”[7]
Pemahaman Sahabat Nabi, Sumber Kebenaran
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita, walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.
Jika kita telah memahami betapa mulia kedudukan para sahabat Nabi, dan kita juga tentu paham bahwa tidak mungkin ada orang yang lebih memahami perkataan dan perilaku Nabi selain para sahabat Nabi, maka tentu pemahaman yang paling benar terhadap agama Islam ada para mereka. Karena merekalah yang mendakwahkan Islam serta menyampaikan sabda-sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam hingga akhirnya sampai kepada kita, walhamdulillah. Merekalah ‘penghubung’ antara umat Islam dengan Nabinya.
Oleh karena ini sungguh aneh jika
seseorang berkeyakinan atau beramal ibadah yang sama sekali tidak
diyakini dan tidak diamalkan oleh para sahabat, lalu dari mana ia
mendapatkan keyakinan itu? Apakah Allah Ta’ala menurunkan wahyu
kepadanya? Padahal turunnya wahyu sudah terhenti dan tidak ada lagi Nabi
sepeninggal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Dari sini kita
perlu menyadari bahwa mengambil metode beragama Islam yang selain metode
beragama para sahabat, akan menjerumuskan kita kepada jalan yang
menyimpang dan semakin jauh dari ridha Allah Ta’ala. Sedangkan jalan
yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh para sahabat Nabi. Setiap
hari kita membaca ayat:
اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ صِرَاطَ الَّذِينَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ
“Ya Allah, tunjukilah kami jalan yang
lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada
mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” (QS. Al Fatihah: 6-7)
Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman:
Al Imam Ibnu Katsir menjelaskan: “Yang dimaksud dengan ‘orang-orang yang telah Engkau beri nikmat‘ adalah yang disebutkan dalam surat An Nisa, ketika Allah berfirman:
وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَالرَّسُولَ
فَأُولَئِكَ مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِمْ مِنَ
النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ وَحَسُنَ
أُولَئِكَ رَفِيقًا
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan
Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang
dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu: Nabi-nabi, para shiddiiqiin,
orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah
teman yang sebaik-baiknya.”[8]
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya[9].
Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
Seorang ahli tafsir dari kalangan tabi’ut tabi’in, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, menafsirkan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabatnya[9].
Oleh karena itulah, seorang sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas’ud radhiallahu’anhu berkata:
من كانَ منكم مُتأسياً فليتأسَّ
بأصحابِ رسول ِاللهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ, فإنهم كانوا أبرَّ هذهِ الأمةِ
قلوباً، وأعمقـُها عِلماً، وأقلـُّهَا تكلـُّفَا، وأقومُها هَديَا،
وأحسنـُها حالاً، اختارَهُمُ اللهُ لِصُحبةِ نبيِّهِ صلى اللهُ عليهِ وسلمَ
وإقامَةِ دينِهِ، فاعرفوا لهم فضلـَهُم، واتـَّبـِعُوهم في آثارِهِم،
فإنهم كانوا على الهُدى المُستقيم
“Siapa saja yang mencari teladan,
teladanilah para sahabat Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Karena
merekalah orang yang paling baik hatinya diantara umat ini, paling
mendalam ilmu agamanya, umat yang paling sedikit dalam
berlebihan-lebihan, paling lurus bimbingannya, paling baik keadaannya.
Allah telah memilih mereka untuk mendampingi Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam dan menegakkan agama-Nya. Kenalilah keutamaan mereka, dan
ikutilah jalan mereka. Karena mereka semua berada pada shiratal mustaqim
(jalan yang lurus)”[10]
Beliau juga berkata:
Beliau juga berkata:
إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى نَظَرَ فِي
قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاخْتَارَ مُحَمَّدًا صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فَبَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ، وَانْتَخَبَهُ بِعِلْمِهِ، ثُمَّ
نَظَرَ فِي قُلُوبِ النَّاسِ فَاخْتَارَ أَصْحَابَهُ فَجَعَلَهُمْ
وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْصَارَ
دِينِهِ، فَمَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
حَسَنٌ، وَمَا رَآهُ الْمُؤْمِنُونَ قَبِيحًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ
قَبِيحٌ
“Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati
hambanya, lalu Ia memilih Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dan
mengutusnya dengan risalah. Allah Ta’ala memperhatikan hati-hati
manusia, lalu Ia memilih para sahabat Nabi, kemudian menjadikan mereka
sebagai pendamping Nabi-Nya dan pembela agama-Nya. Maka segala sesuatu
yang dipandang baik oleh kaum Mu’minin -yaitu Rasulullah dan para
sahabatnya-, itulah yang baik di sisi Allah. Maka segala sesuatu yang
dipandang buruk oleh kaum Mu’minin, itulah yang buruk di sisi Allah”[11]
Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
Dalam matan Ushul As Sunnah, Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata:
أصول السنة عندنا التمسك بما كان عليه أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم والاقتداء بهم…
“Asas Ahlussunnah Wal Jama’ah menurut
kami adalah berpegang teguh dengan pemahaman para sahabat Rasulullah
Shallallahu’alaihi Wasallam dan meneladani mereka… dst.”
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
Jika demikian, layaklah bila Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menjadikan solusi dari perpecahan ummat, solusi dari mencari hakikat kebenaran yang mulai samar, yaitu dengan mengikuti sunnah beliau dan pemahaman para sahabat beliau. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إن بني إسرائيل تفرقت على ثنتين
وسبعين ملة ، وتفترق أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة
، قال من هي يا رسول الله ؟ قال : ما أنا عليه وأصحابي
“Bani Israil akan berpecah menjadi 74
golongan, dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan. Semuanya di
nereka, kecuali satu golongan”
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”[12]
Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:
Para sahabat bertanya: “Siapakah yang satu golongan itu, ya Rasulullah?”
“Orang-orang yang mengikutiku dan para sahabatku”[12]
Beliau juga bersabda menjelang hari-hari wafatnya:
أوصيكم بتقوى الله والسمع والطاعة ،
وإن كان عبدا حبشيا فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا ، فعليكم بسنتي
وسنة الخلفاء الراشدين المهديين ، فتمسكوا بها وعضوا عليها بالنواجذ ،
وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة )
“Aku wasiatkan kalian agar bertaqwa
kepada Allah. Lalu mendengar dan taat kepada pemimpin, walaupun ia dari
kalangan budak Habasyah. Sungguh orang yang hidup sepeninggalku akan
melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk mengikuti
sunnnahku dan sunnah khulafa ar raasyidin yang mereka telah diberi
petunjuk. Berpegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Serta
jauhilah perkara yang diada-adakan, karena ia adalah bid’ah dan setiap
bid’ah itu sesat” (HR. Abu Daud no.4609, Al Hakim no.304, Ibnu Hibban
no.5)
Jika Sahabat Berselisih Pendapat
Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
Sebagaimana yang telah kita bahas, jika dalam suatu permasalahan terdapat penjelasan dari para sahabat, lalu seseorang memilih pendapat lain di luar pendapat sahabat, maka kekeliruan dan penyimpangan lah yang sedang ia tempuh. Namun jika dalam sebuah permasalahan, terdapat beberapa pendapat diantara para sahabat, maka kebenaran ada di salah satu dari beberapa pendapat tersebut, yaitu yang lebih mendekati kesesuaian dengan Al Qur’an dan sunnah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata:
: قد سمعت قولك في الإجماع والقياس بعد قولك في حكم كتاب الله وسنة رسوله أرأيت أقاويل أصحاب رسول الله إذا تفرقوا فيها ؟
[ فقلت : نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو الإجماع أو كان أصحَّ في القياس
[ فقلت : نصير منها إلى ما وافق الكتاب أو السنة أو الإجماع أو كان أصحَّ في القياس
“Jika ada orang yang bertanya, Wahai Imam
Syafi'i, aku dengar engkau mengatakan bahwa setelah Al Qur'an dan
Sunnah, ijma dan qiyas juga merupakan dalil. Lalu bagaimana dengan
perkataan para sahabat Nabi jika mereka berbeda pendapat?
Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau Ijma' atau Qiyas yang paling shahih”[13]
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya
________________________________________
[1] Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24)
[2] Al Ba’its Al Hatsits (1/25)
[3] Al Ba’its Al Hatsits (1/24)
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7)
[5] HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533
[6] Nur Al Laami’ (199), dinukil dari kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7)
[7] HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/140)
[9] Tafsir At Thabari (1/179)
[10] Tafsir Al Qurthubi (1/60)
[11] HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no.8504. Dalam Majma’ Az Zawaid (8/453), Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah”
[12] HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”
[13] Ar Risalah (1/597)
Imam Asy Syafi'i berkata: Bimbingan saya dalam menyikapi perbedaan pendapat di antara para sahabat adalah dengan mengikuti pendapat yang paling sesuai dengan Al Qu'an atau Sunnah atau Ijma' atau Qiyas yang paling shahih”[13]
Semoga Allah senantiasa menunjukkan kita jalan yang lurus, yaitu jalan yang ditempuh oleh Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para sahabatnya
________________________________________
[1] Al Ba’its Al Hatsits Fikhtishari ‘Ulumil Hadits, Ibnu Katsir (1/24)
[2] Al Ba’its Al Hatsits (1/25)
[3] Al Ba’its Al Hatsits (1/24)
[4] Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al Ashabani dalam Fadhlus Shahabah. Di-hasan-kan oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Fathul Baari (7/7)
[5] HR. Bukhari no.3651, Muslim no.2533
[6] Nur Al Laami’ (199), dinukil dari kitab I’tiqad A’immatil Arba’ah, Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais, (1/7)
[7] HR. Bukhari no. 3673, Muslim no. 2540
[8] Tafsir Ibnu Katsir (1/140)
[9] Tafsir At Thabari (1/179)
[10] Tafsir Al Qurthubi (1/60)
[11] HR. At Thabrani dalam Mu’jam Al Kabir no.8504. Dalam Majma’ Az Zawaid (8/453), Al Haitsami berkata: “Semua perawinya tsiqah”
[12] HR. Tirmidzi no. 2641. Dalam Takhrij Al Ihya (3/284) Al’Iraqi berkata: “Semua sanadnya jayyid”
[13] Ar Risalah (1/597)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar