Rabu, 25 Januari 2012

Kaedah Penting dalam Memahami Al Qur’an dan Hadits


Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah(Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. Selain itu, ada jaminan dari Allah dan Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. AllahSubhanahu wa Ta’alaberfirman,
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُم مِّنِّي هُدًى فَمَنِ اتَّبَعَ هُدَايَ فَلاَ يَضِلُّ وَلاَ يَشْقَى {123} وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِى فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى
Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan ia tidak akan celaka. Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124).
Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, “Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran dan mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akhirat.” [Tafsir ath Thabari, 16/225].
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا مَا تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا : كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّةَ رَسُوْلِهِ
Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. (Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13).
KENYATAAN UMAT
Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sahabatnya radhiallahu ‘anhum.
Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, “Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran dan as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in dan para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits “Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, dan seterusnya.
Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran dan pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in dan para pengikut mereka setelah mereka.” [Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim].
RUJUKAN MEMAHAMI NASH
Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah dan rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran dan al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab dan as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih dan imam-imam yang mengikuti jalan mereka. Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan].
Alquran dan as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Oleh karena itul, cara memahami al-Kitab dan as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut.
Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami dan menafsirkan Alquran sebagai berikut:
- Menafsirkan Alquran dengan Alquran.
- Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat.
- Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in.
- Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab.
Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Alquran ialah:
- Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain.
- Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran.
- Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat dan keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu dan yang menjadi penyebab turunnya. Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, dan amal yang shalih. Terlebih para ulama sahabat dan para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alimdan banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas.
- Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran dan as-Sunnah, dan engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, dan lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), dan tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). (Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah.
- Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, dan bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran dan as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5).
Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, dan para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain:
Firman Allah Ta’ala,
وَمَن يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَآءَتْ مَصِيرًا
Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). (Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; dan lainnya).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
وَإِنَّ بَنِي إِسْرَائِيلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلَّا مِلَّةً وَاحِدَةً قَالُوا وَمَنْ هِيَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِي
Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku dan sahabatku.” (H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24).
Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Sunnah (ajaran) parakhulafaur rasyidin dan para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain!
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku dan sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, dan giggitlah dengan gigi geraham. Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan semua bid’ah adalah sesat.(H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah).
Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa.
Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), dan diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam [lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan].
Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, dan rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab dan kaidah-kaidahnya! Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz].
Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) dan hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah [Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan dan mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, dan manganggapnya sebagai qurban yang optimis dan berwawasan masa depan. Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat dan menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz].
Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab dan as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya.
Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran.

Minggu, 22 Januari 2012

Adab Bertanya Kepada Ahli Ilmu



Oleh: Syaikh Shalih bin Abdil ‘Aziz Alu Asy Syaikh
Ada beberapa keadaan yang berkaitan dengan masalah bertanya kepada ahli ilmu. Tentu manusia butuh untuk bertanya, namun pertanyaan ini bisa bermacam-macam keadaan. Keadaan yang berkaitan dengan penanya, serta keadaan yang berkaitan dengan orang yang ditanya.
Adapun bagi penanya, hendaknya ia memperhatikan adab-adab sehingga orang yang ditanya dapat menjawab dengan jawaban yang pas dan benar -Insya Allah-. Oleh karena, wajib bagi penanya untuk memperhatikan beberapa adab-adab dalam bertanya, diantaranya:
Persiapkan pertanyaan dengan baik
Salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya dengan pertanyaan yang jelas dan tidak samar, yaitu menjelaskan duduk permasalahan sebelum bertanya. Perlu digaris-bawahi bahwa sebagian kaum muslimin ketika mendapatkan masalah atau musykilah (keraguan), lantas ia mendatangi ahli ilmu dan langsung bertanya tanpa mempersiapkan rincian permasalahannya. Atau terkadang, ia langsung menyalakan telepon lalu bertanya tentang hal yang mengganggunya tanpa menjelaskan keadaan yang berhubungan dengan pertanyaan. Atau ketika ia hendak meminta penjelasan, ia mendatangi orang alim lalu bertanya dengan beberapa rincian saja, lalu berkata: “Demi Allah, saya tidak tahu tentang hal ini wahai orang alim, nasehatilah saya“. Demikian. Tentu orang alim tadi menjawab: “Saya tidak tahu“.
Maka penanya hendaknya mempersiapkan rincian pertanyaan sebelum bertanya. Karena pertanyaan yang anda tanyakan adalah tentang hukum Allah Jalla Wa ‘Ala, yang jika anda mendapatkan jawabannya anda akan terbebas dari kesusahan. Dan orang alim yang ditanya pun mendapatkan gambaran pertanyaan dengan jelas. Karena jika tidak jelas, bagaimana mungkin ia dapat menjawab hal yang belum jelas?
Memperhatikan waktu ahli ilmu
Dengan demikian, hendaknya yang pertama dilakukan oleh penanya adalah mempersiapkan pertanyaan dengan baik dan bahasa yang sesingkat mungkin. Jangan anda mengira bahwa orang yang biasa ditanya masalah agama, yaitu mufti atau para thalibul ilmi yang dapat menjawab pertanyaan, janganlah anda mengira mereka itu hanya ditanya satu atau dua pertanyaan saja. Di zaman ini, dengan telepon, pada ahli ilmu memungkinkan untuk dihubungi baik dari daerah sendiri atau dari luar daerah. Bahkan mereka ditanya puluhan ribu kali dalam setahun, atau 20-30 pertanyaan sehari. Oleh karena itu, salah satu adab yang mesti diperhatikan oleh penanya, hendaknya penanya menyadari sempitnya waktu sang mufti tersebut, dan sempitnya waktu yang ia miliki untuk melayani pertanyaan.
Hendaknya ia mempersiapkan pertanyaan dengan bahasa yang jelas dan tidak samar serta bersungguh-sungguh memanfaatkan waktu sang mufti yang terbatas itu, sehingga pertanyaan yang ia sampaikan jadi bermanfaat. Dengan kata lain, jangan anda berpikiran bahwa yang dibalas teleponnya atau dijawab pertanyaannya hanyalah anda satu-satunya. Bahkan hendaknya anda menyadari bahwa yang bertanya kepada sang mufti ada puluhan orang yang bertanya setiap waktu. Sehingga wajib baginya memperhatikan kondisi dan adab, terutama dalam menyingkat pertanyaan. Dan jawaban pun tergantung dari pertanyaan yang disampaikan. Jika pertanyaan jelas, jawaban pun akan jelas. Oleh karena itu, anda lihat bahwa pertanyaan Malaikat Jibril kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam merupakan dalil anjuran untuk bertanya dengan jelas dan dalil bahwa jawaban yang jelas itu dibangun dari pertanyaan yang jelas. Jibril ‘Alaihissalam bertanya kepada Nabi: “Kabarkan kepadaku tentang Islam“, ini pertanyaan yang jelas dan ringkas. Lalu “Kabarkan kepadaku tentang iman“, “Kabarkan kepadaku tentang ihsan“, “Apa tanda-tanda kiamat?“, dan semisal itu. Ini semua pertanyaan yang jelas, bahasa ringkas, dan diawali dengan rincian serta pertanyaan yang jelas sebelum bertanya. Inilah adab yang mestinya diperhatikan.
Kebanyakan yang terjadi, ketika jawaban seorang mufti tidak jelas itu disebabkan oleh pertanyaan yang tidak jelas. Andai penanya bertanya dengan mempersiapkan pertanyaan dengan baik lalu baru bertanya, tentu jawaban akan jelas.
Tidak bertanya yang sudah diketahui
Adab lain yang perlu diperhatikan oleh penanya adalah tidak bertanya tentang sesuatu yang sudah ia ketahui jawabannya. Sebagian penuntut ilmu, atau orang yang sudah bisa menelaah masalah, terkadang sudah pernah menelaah sebuah masalah dan mengetahui pendapat-pendapat para ulama tentang hal tersebut, namun ia datang kepada mufti lalu bertanya. Jika sang mufti menjawab dengan jawaban yang sesuai dengan salah satu pendapat yang ada, namun terdapat pendapat ulama yang berlainan, si penanya berkata: “Apa dalil jawaban anda?“. Jika dalilnya dijelaskan, si penanya pun membantah dalil tersebut, atau ditentang dengan dalil lain, atau ia berkata “Sebagian ulama berkata tidak demikian“, atau semacamnya. Bedakanlah antara bertanya untuk mengambil manfaat atau untuk mengajari -padahal anda orang yang tidak tahu- atau untuk mengajak diskusi. Karena bukan itu (melayani debat, pent.) tugas seorang ulama.
Dan anda pun belum membuka diskusi misalnya dengan berkata: ‘Saya ingin mengajak anda berdiskusi tentang masalah ini‘. Apa yang dimaksud mengajak diskusi? Maksudnya ‘aku akan berdebat denganmu, agar engkau tahu apa pendapat dan dalilku dan aku tahu pendapat dan dalilmu, sampai kita bertemu titik kebenaran‘. Bukan ini yang diharapkan, terlebih lagi hal ini merupakan sikap tidak sopan terhadap ahli ilmu. Karena perbuatan tersebut termasuk melukai hak seorang ulama, kecuali jika anda memaparkan bahwa anda ingin meminta bantuan beliau untuk meneliti sebuah permasalahan. Jika demikian, anda memiliki sebuah penelitian, dari penelitian itu dikeluarkan pertanyaan untuk diminta fatwa dari sang mufti, anda bertanya, mufti menjawab dan menjelaskan.
Sikap gemar bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya ini terkadang juga terjadi di kalangan para penuntut ilmu di majelis ilmu.Ia mengetahui jawabannya namun tetap bertanya agar orang lain tahu bahwa ia mengajukan pertanyaan yang bagus, atau semisal itu. Mulai dari sekarang, kurangilah bertanya hal yang sudah diketahui jawabannya, dan bertanyalah pada hal yang belum tahu saja. Demikianlah adabnya. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Bertanyalah kepada ahli ilmu jika engkau tidak tahu
Jika sudah tahu, jangan bertanya. Karena anda sudah punya ilmunya, dan waktu seorang mufti atau seorang penuntut ilmu itu dapat digunakan untuk kepentingan dan kewajiban lain yang sangat banyak. Sehingga ia dapat menghemat waktu untuk aktifitas yang lainnya.
Cukup bertanya kepada satu orang ahli ilmu yang dipercaya
Adab lain yang mesti diperhatikan adalah jangan menyebutkan pendapat mufti lain kepada mufti yang ditanya. Sebagian orang bertanya lewat telepon sekali, setelah itu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain, lalu bertanya lagi kepada yang lain. Akhirnya ia pun bingung. Karena bingung, akhirnya ia pun memilih jawaban yang paling enak dan ringan. Ini tidak patut. Hendaknya penanya jika memiliki pertanyaan ia datang kepada seorang alim yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Sebagaimana perkataan para ulama:
ينبغي للمستفتي أنْ يسأل من يثق بعلمه ودينه
Hendaknya penanya itu bertanya kepada orang yang ia percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya
Jika anda percaya kepada Fulan maka tanyalah ia, lalu setelah itu jangan tanya lagi kepada yang lain. Karena jika anda bertanya kepada yang lain, kadang akan mendapatkan jawaban berbeda yang membuat anda bingung.
Terkadang anda boleh bertanya kepada lebih dari satu orang, jika jawaban pertama itu meragukan dari sisi dalil. Yaitu jika penanya memiliki sedikit ilmu tentang dalil lalu jawaban pertama agak meragukan dari sisi dalil, maka boleh bertanya kepada yang lain. Karena dalam hal ini, apakah jawaban yang membuat anda puas bukanlah yang cocok dengan kondisi anda, atau jawaban yang tidak sulit mengamalkannya, atau karena anda berniat mencari-cari jawaban yang paling enak dan ringan? Tidak, namun dari sisi adanya keraguan apakah jawaban tersebut memang benar-benar sesuai dengan apa yang diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam atau tidak? Ini terjadi jika penanya tahu sebagian dalil yang bertentangan dengan jawaban pertama.
Oleh karena ini, merupakan adab dalam bertanya adalah tidak bertanya kepada lebih dari satu orang alim untuk satu pertanyaan, karena dapat berakibat:
  1. Membuang-buang waktu orang alim
  2. Dapat menyebabkan penanya kebingungan. Kebanyakan mereka berkata: “Saya sudah lelah bertanya namun masih bingung. Mufti A berkata demikian, Mufti B berkata demikian“. Kita katakan: “Anda yang salah dari awal. Karena anda bertanya kepada lebih dari satu orang alim. Tanyalah kepada orang alim yang anda percayai keilmuannya dan kebagusan agamanya. Ambillah fatwanya dan anda pun tidak ada beban lagi di hadapan Allah. Karena yang Allah perintahkan kepada anda adalah bertanya kepada ahli dzikir, dan anda telah melaksanakannya. Janganlah menambah-nambah beban bagi diri anda”
Bertanya dengan lugas, tidak berputar-putar
Adab lain yang juga mesti diperhatikan adalah tidak bertanya dengan pertanyaan yang berputar-putar. Misalnya seseorang bertanya: “Ada orang yaitu si Fulan, ia mengalami ini dan itu…”. Padahal penanya ini ingin menanyakan permasalahan yang terjadi padanya dengan memberikan pertanyaan yang kasusnya mirip. Penanya ini mengira, jika pertanyaan ini dijawab, maka jawaban itu berlaku juga untuk dirinya. Padahal pada kenyataannya masalah yang dimiliki si penanya berbeda dengan yang ditanyakan, namun si penanya mengira sama. Orang alim yang ditanya pun tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya dan ia tidak tahu bahwa yang butuh solusi adalah si penanya itu, akhirnya orang alim ini menjawab secara umum saja.
Bertanya kepada ahli ilmu bukanlah aib, bahkan itu perbuatan mulia. Karena menunjukkan bahwa si penanya bersemangat dalam kebaikan dan untuk terlepas dari bebannya, sehingga dapat meringankan kesulitan ia kelak ketika menghadap Allah Ta’ala. Ketika anda bertanya, janganlah bertanya dengan berputar-putar. Tanyalah secara jelas sesuai dengan kenyataan yang ada, janganlah segan. Sebagian shahabiyyah pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang haid, tentang kehamilan bagaimana hukumnya, dll. Dalam pertanyaan bukanlah tempatnya untuk malu-malu. Malu itu memang terpuji, namun jika malu itu dapat menjauhkan anda dari ilmu tentang hukum Allah maka saat itu malu tidak terpuji, sebagaimana terdapat dalam hadits.
Jika demikian, termasuk adab yang mesti diperhatikan oleh penanya adalah bertanya sesuai dengan kebutuhannya. Jangan mengira bahwa jika anda memutar-mutar pertanyaan, anda akan mendapatkan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan anda. Padahal sebaliknya, ternyata jika permasalahan atau kejadian itu dijelaskan dengan jelas justru akan didapatkan jawaban yang 100% berbeda. Oleh karena itu jangan berputar-putar ketika bertanya kepada ahli ilmu, baik dalam permasalahan fiqih, masalah pribadai atau yang berkaitan dengan kejadian-kejadian. Bertanyalah dengan jelas, dan ini termasuk menghormati ahli ilmu serta merupakan usaha untuk mendapatkan jawaban yang benar. Adapun jika kita ‘membodohi’ para ahli ilmu sehingga kita mendapatkan jawaban mereka, ini bukan sikap yang layak. Yang layak adalah memuliakan mereka. Perbuatan ini pun membuat anda belum terlepas dari beban untuk bertanya kepada ahli ilmu. Karena anda yang telah membuat orang alim tersebut menjawab, padahal jika anda menjelaskan pertanyaan sesuai keadaan sebenarnya terkadang jawabannya berbeda. Oleh karena itu, anda belum bebas dari beban
Dari hal ini, saya memandang bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi berupa dipertentangkannya fatwa-fatwa ulama, baik dalam masalah fiqih, masalah aktual, masalah sosial, atau yang lain, adalah karena orang yang bertanya menggunakan pertanyaan yang berputar-putar dan menyamarkan sang mufti. Yang dimaksud bukanlah yang ditanyakan. Sikap ini tidaklah layak. Karena Allah Ta’ala memerintahkan kita dengan perintah yang jelas, yaitu bertanya. Sedangkan perbuatan ini termasuk melampaui batas dari yang selayaknya, yaitu bertanya dengan adab yang baik.
Bertanya untuk diri sendiri
Adab lain yang semestinya diperhatikan ketika bertanya adalah hendaknya penanya bertanya untuk dirinya dan bukan untuk orang lain. Banyak penanya yang berkata: “Temanku titip pesan, ia bertanya tentang ini dan itu…”. Atau ia berkata: “Jika Fulan -yaitu teman kerjanya- demikian, maka ia akan mengalami demikian dan demikian, ia titip pesan untuk menanyakannya kepada anda”. Keadaannya bisa bermacam-macam. Padahal seorang mufti tentu akan meminta rincian, dan tentu ia akan bertanya tentang rincian itu, misalnya: “Bagaimana kejadian sebenarnya?”, atau “Apakah kejadiannya seperti ini dan itu?”. Jika penanya ini bukanlah orang yang memiliki pertanyaan, ia tentu tidak bisa menjawab pertanyaan tentang rincian tersebut, melainkan hanya tahu sebatas pertanyaan singkat yang diberikan.
Dan terkadang, hal yang dapat membuat penanya yang sebenarnya langsung bertanya kepada orang alim adalah adanya keseganan atau rasa malu. Sebagaimana yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib Radhiallahu’anhu, ia lelaki yang sering keluar banyak madzi. Namun ia malu bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam karena Nabi adalah mertuanya. Ali pun segan dan malu untuk bertanya kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tentang hal yang berhubungan dengan perihal suami-istri ini. Maka Ali pun mengutus Miqdad untuk menanyakan kepada Nabi tentang masalah ini. Lalu Nabi menjawab. Kemudian Miqdad Radhiallahu’anhu menukilkan jawaban tersebut kepada Ali Radhiallahu’anhu.
Jika demikian, pada asalnya seseorang hendaknya tidak bertanya kecuali yang khusus untuk dirinya. Karena jawaban pertanyaan bisa berbeda-beda tergantung penanya dan tergantung konteks pertanyaan. Selain itu, orang yang dipesankan pertanyaan tidak selalu pasti bisa menjelaskan jawaban sesuai dengan yang sebenarnya. Dan kebanyakan dari kondisi ini, jawaban dari fatwa bisa didapatkan jika pertanyaan ini tidak ada kesamaran dalam konteks pertanyaan.
Jangan terburu-buru minta dijawab dengan segera
Adab lain yang semestinya diperhatikan adalah jika anda bertanya kepada ahli ilmu lewat telepon atau bukan lewat telepon, janganlah meminta untuk dijawab dengan segera secara tertulis atau dijawab dalam rekaman, kecuali jika orang alim tersebut mengizinkan. Kejadian ini sering saya dapati berkali-kali, yaitu sebagian ikhwah mereka merekam jawaban dari ahli ilmu dengan cara yang tidak layak. Hal ini dikarenakan seorang alim hanya menjawab sesuai kadar pertanyaan dari si penanya. Yang bisa jadi, jika orang alim ini sebelumnya diberitahu bahwa jawaban beliau itu direkam dan akan diperdengarkan kepada orang banyak, jawabannya akan berbeda. Dan hal ini termasuk kurang hormat kepada ahli ilmu dan kurang memperhatikan adab terhadap mereka, yaitu merekam jawaban dari ahli ilmu dengan telepon atau tulisan, lalu disebarkan tanpa izin mereka. Karena ahli ilmu memiliki hak untuk memutuskan fatwanya boleh disebar secara penuh kepada orang banyak atau tidak. Dan penanya hendaknya bertanya khusus untuk dirinya. Jika anda memang ingin merekamnya, hendaknya diawal pertanyaan anda mengatakan: “Semoga Allah memberikan kebaikan untuk anda. Saya bermaksud untuk merekam jawaban anda dalam rekaman, dan rekaman akan dimulai dari sekarang”. Jika beliau memang mengizinkan, maka anda telah melakukan adab yang selayaknya.
Kemudian jangan berlaku kurang hormat serta membuat duduk perkaranya kurang jelas, yaitu seseorang memanfaatkan beberapa kesempatan, merekam jawaban dari ahli ilmu, yang sebenarnya tidak disukai oleh ahli ilmu yang memfatwakannya. Hal ini berkali-kali terjadi, ketika ahli ilmu tersebut dikonfirmasi mengenai rekaman fatwa tadi, ia berkata: “Saya tidak pernah berkata demikian secara rinci, karena dalam masalah ini ada perincian”. Nah coba perhatikan, jawaban di rekaman sudah jelas, namun mengapa ahli ilmu tersebut mengatakan dalam masalah tersebut masih ada perincian? Jawabannya, karena sekarang beliau sudah memiliki gambaran permasalahan sebenarnya, namun saat penanya bertanya lewat telepon beliau mengira pertanyaan ini bukanlah tentang diri si penanya tersebut.
Kita diperintahkan untuk menghormati ahli ilmu, sebagaimana terdapat dalam banyak atsar dari tabi’in yang menyatakan demikian. Dan termasuk dalam sikap hormat terhadap ahli ilmu adalah tidak bersikap lancang dengan menyebarkan rekaman perkataan mereka, atau menulisnya, kecuali ada penyataan dari mereka boleh untuk melakukannya. Demikian juga yang berupa rekaman syarah (penjelasan) tentang suatu masalah, seharusnya di serahkan dahulu kepada ahli ilmu tersebut, biar beliau yang memutuskan apakah akan disebarkan, akan di-edit, dihapus, atau boleh direkam semuanya. Seharusnya demikian. Karena terkadang, sebuah ilmu itu bermanfaat bagi sebagian kecil orang, namun tidak bermanfaat bagi sebagian besar orang. Karena kebanyakan orang, yaitu masyarakat, berbeda-beda tingkatan pemahamannya. Karena seorang alim, ketika akan berbicara, ia melihat keadaan audiens yang ada. Demikianlah. Jika seorang ulama sudah diberitahu bahwa jawabannya akan disebarkan kepada masyarakat yang berbeda-beda tingkat pemahamannya, ia akan menjawab dengan jawaban yang berbeda. Oleh karena itu, jika anda perhatikan anda akan menemukan seorang ulama memiliki jawaban berbeda antara menjawab pertanyaan lewat telepon dengan jawaban yang anda dengar dari acara Nuurun ‘Ala Darb. Bisa jadi pada jawaban tersebut memang terdapat tafshil (rincian), dalil (pendalilan lain), ta’lil (sisi alasan lain), atau semacamnya. Sehingga pada acara Nuurun ‘Ala Darb misalnya, beliau akan menjawab dengan lengkap. Sedangkan jawaban beliau terhadap anda lewat telepon cukup sekedar jawaban “ini benar”, atau “ini tidak benar”, atau “boleh”, atau “ini tidak boleh”, atau “yang sunnah adalah begini, (secara ringkas)”, karena waktunya sempit untuk menjawab dengan rinci kepada semua orang.
Demikianlah sebagian adab yang berkaitan dengan penanya.


Artikel www.muslim.or.id

Total Tayangan Halaman

Aquarium

Cari dengan google


Komentar